Cherrypop Official Merchandise Booth

iKonser berhasil menggelar festival musik yang digadang-gadang menjadikan Yogyakarta sebagai melting point bagi band-band Indonesia dari wilayah timur maupun barat. The Dare (Lombok) yang mewakili wilayah timur Indonesia juga Silampukau (wilayah timur Jawa) sementara dari barat (masih Jawa) ada Teenage Death Star. Dari tengah (lagi – lagi masih pulau Jawa) ada Menjelang Pagi (Banjarnegara), Smaratantra (Solo), dan Kamar Jiwa (Semarang).

The Dare

Sementara sebagai tuan rumah ada Melancholic Bitch, Skandal, Tiger Paw dan Sangkakala. Secara pemilihan jenis musik lumayan variatif mulai Folk, Indie Rock sampai Heavy Metal walaupun masih bisa dikulik lagi secara Jogja kan gudangnya variasi genre musik yang serba ada. Plus dari segi pemetaan asal band masih berkutat di area Jawa, belum mewakili wilayah timur dan barat Indonesia seperti yang digadang – gadang sebelumnya.

Lapak Kerajinan

Lapak Kerajinan

Selain pertunjukan band di panggung besar, di area Panggung Alpha Bravo ada ruang – ruang untuk pemutaran perdana film dokumenter skena musik Jogja, diskusi, workshop, pop up market kerajinan dan kuliner, records store serta pameran seni. Sebuah usaha diversifikasi festival musik agar penonton tidak bosen menunggu jeda penampilan band di panggung utama.

Ruang Pemutaran Film Dokumenter

Patut diapresiasi melihat usaha festival ini untuk memberikan ruang bagi penggiat film amatir dalam mendokumentasikan skena musik di Jogja. Ada lima film dokumenter yang diputar di area Popopop ini: “Di Balik Lantai Dansa” (Tuttifruti Collective), “Jogja Magnetnya Rockabilly” (Mahadhana Dira Priyahita), “EnjOi! Cerita Tentang Skinhead Jogja” (Galih Eko Kurniawan), “Tuhan, Masukkan Aku Ke Dalam Skena” (7Days Off), dan “Knock Knock! Yer Blues Here” (Spasi Latar).

Rekam Skena

Program yang sangat penting bagi proses dokumentasi skena dan mari berharap ini tidak hanya berhenti disini saja. Sayangnya ruang pemutaran film belum tertata maksimal misalnya dilihat dari kapasitas ruang yang kurang memadai dan tidak kedap suara membuat dentuman sound dari panggung utama mengalahkan suara dari film-nya.

Diskusi Bersama Skandal

Diskusi tentang musik yang berada di outdoor tak kalah menariknya menampilkan musisi yang tampil di panggung. Lagi – lagi penempatan ruang outdoor yang membuatnya kalah saing dengan gelegar sound dari panggung utama membuat sesi ini kurang bisa dinikmati. Semoga sesi seperti ini direkam oleh iKonser untuk kemudian tayang di program TV mereka sehingga tidak terkesan menjadi tempelan semata.

Lapak Sablon Survive! Garage

Di area Cherrypop juga ada beberapa lapak kerajinan, sablon kaos oleh Survive! Garage dan kuliner selain rilisan musik dari Jogja Record Store Club.

Jogja Record Store Club

Tidak banyak yang menarik dari kulineran disini, mungkin burger dari Journey serta miras selundupan kalo suka menikmati alkohol sembari nonton band. Menjadi sebuah cerita menarik tersendiri melihat trick orang – orang dalam menyelundupkan minuman alkohol ke dalam sebuah konser musik, semoga ada yang tertarik bikin liputannya. Di pojokan luar ada papan pameran solo bertema estetika Grunge oleh pak dosen Arsita Pinandita, sang desainer kolaborator visual untuk artwork Cheryypop.

Pameran Arsita Pinandita

Secara keseluruhan konten Cherrypop memberikan angin segar bagi era baru festival musik di Yogyakarta setelah pandemi. Walaupun sebenarnya konsep ini sudah berjalan di ranah yang lebih kecil (baca: gigs). Beberapa cara yang lazim dipakai oleh organizer gigs D.I.Y untuk mempromosikan gigs pun dimodifikasi oleh Cherrypop semisal menempelkan poster acara di tembok pinggir jalan juga pembuatan zine berisi info tentang festival. Tidak mengherankan mengingat beberapa orang yang berada di balik konsep Cherrypop sebelumnya (dan masih) bergerak juga di ranah musik bawah tanah.

Cherrypop Zine

Lalu apakah kemudian Cherrypop sudah layak menjadi barometer baru festival musik di Yogyakarta era setelah pandemi? Silahkan dijawab sendiri.

Kudos untuk team iKonser dengan Cherrypop-nya!

Sangkakala