“…See Where Your Music Takes You…” (Lihatlah kemana musikmu membawamu pergi). Tulisan di dinding YouTube Music Lounge di area SXSW itu selalu tertanam di benak saya, dan memori pun seperti mundur ke belakang, mengingat 19 tahun perjalanan Shaggydog …
Tapi, sebelum lebih jauh saya ngelantur, mari kita mundur ke bulan Desember 2015 …
Pertengahan Desember 2015, malam itu, sebuah berita yang menggembirakan, sekaligus mendebarkan hati kami, datang dari Monique, perwakilan dari Doggyhouse International. Yang mengabarkan bahwa kami diundang untuk main di Amerika Serikat, lebih dari itu, kami akan main di salah satu festival akbar dunia ; South By Southwest (SXSW).
Perasaan saya campur aduk, mengingat reputasi festival Musik, Film dan Interaktif yang diadakan di Austin, Texas setiap tahunnya ini. Banyak nama besar lahir dari festival yang dimulai sejak tahun 1987 ini. Mulai dari Metallica, Snoop Dogg, Johnny Cash, sampai Katy Perry, pernah menjajal panggung SXSW. Dimana di tahun 2016 ini, festival tersebut dibuka dengan kehadiran Barrack Obama sebagai salah satu pembicara, disusul Michelle Obama di hari berikutnya.
Singkat cerita, semenjak menerima undangan itu, seperti yang sudah-sudah, kami mulai bergegas mengumpulkan dokumen-dokumen untuk visa Amerika, yang kabarnya cukup ketat persyaratannya. Untungnya, kami diperkuat surat-surat rekomendasi yang bisa dibilang cukup ‘berlapis’, mulai dari festival SXSW sendiri, dari Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Houston, dan Rumah Budaya Indonesia (RBI) di Austin. Ya, proses visa ini, semakin menambah volume ketegangan kami. Belum lagi kami harus memikirkan konsep untuk konser disana, berhubungan siang-malam dengan berbagai pihak dan birokrasi, dan tentu saja mengurus kehidupan pribadi kami bersama keluarga. Tiada hari tanpa meeting!
Dan semua jerih payah itu pun terbayar, dengan lolosnya visa kami berdelapan di Surabaya, bulan Februari 2015. Shaggydog, plus Pak Ting (sound engineer), dan Boris (Videographer/MalariaHouse) sudah siap dengan visa dan tiket di tangan.
Tanggal 12 Maret 2016, setelah dua hari yang melelahkan di Jakarta, untuk menjalani rangkaian tur antar media, yang ditutup dengan showcase di mabes Rolling Stone Indonesia. dengan istirahat yang sangat minim.. akhirnya kami bertolak menuju Austin.
Dari Jakarta, kami transit di Bandara Dubai. Dengan orang dari berbagai bangsa, masih 9 jam menunggu penerbangan berikutnya menuju Houston. Momen ini mengingatkan kami, tepat 10 tahun yang lalu, ketika tur ke Belanda yang kedua.
Setelah mondar-mandir, mengasapi diri di smoking room, dan sempat tertidur, kami lanjut lagi penerbangan kami, Houston here we come!
Hampir 17 jam kami berada dalam pesawat, menempuh perjalanan ke Houston. Untungnya segala fasilitas yang ada, seperti film, game, wine, wi-fi dan lain-lain, dapat mengurangi kebosanan kami.
13 Maret 2016, jam 6 sore waktu setempat, kami tiba dengan selamat di George Bush Intercontinental Airport di Houston, Amerika Serikat. Sejenak kami bergurau, merayakan momen ini, “.. Bro, wis tekan Amerika lho iki bro.. “ adalah sederet kata yang sering kami gunakan dari awal datang di Houston.
Setelah ritual smartphone masing-masing, dan mengurus berkas imigrasi, kami disambut oleh Pak Bambang Setyobudi dari KJRI, yang memang sudah saling kontak semenjak awal kami diundang ke SXSW.
Tentu saja, tidak ada acara pemanjaan crew seperti di Indonesia disini, kami bahu membahu mengangkut alat kami untuk dimasukkan ke dalam mobil van yang sudah disediakan oleh KJRI. Jadi rencananya, kami akan menginap semalam di Houston, lalu keesokan harinya, lanjut jalan darat menuju Austin. Kami bosan terus-terusan di langit, dan ingin melihat daratan sepanjang Houston – Austin.
Malam itu ditutup dengan makan malam bersama Bapak Konjen, Henk Saroinsong beserta segenap jajaran KJRI Houston, dalam kesempatan tersebut, kami saling mengucapkan terima kasih atas terbangunnya komunikasi yang terjalin apik.
14 Maret 2016, siang sekitar pukul 12.00 kami diantar Pak Ari dari KJRI dan Butet, dari Rumah Budaya Indonesia Austin, untuk menuju ke Austin. Perjalanan darat Houston – Austin kami tempuh selama kurang lebih 2 jam. Melewati jalan bebas hambatan yang cenderung rata dan cukup membosankan, terlihat beberapa kedai steak di sepanjang jalan. Ya, Texas terkenal dengan keunggulan daging steak-nya. Kami sempat berhenti di satu supermarket, dan menjajal beef jerky (dendeng sapi) khas Texas.
Mulai terlihat samar-samar gedung Texas State Capitol dari mata yang masih agak mengantuk ini, akhirnya, kami sampai juga di ‘arena’ SXSW, Austin!
Setelah menaruh barang-barang di rumah, kami langsung menuju ke Austin Convention Center, sebuah gedung besar yang merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan SXSW, mulai dari workshop, informasi, kantor panitia, dan salah satu kegiatan yang wajib kami penuhi dari pertama, registrasi artis.
Satu per satu kami registrasi, setelah beres, kami mendapat gelang berwarna pink (Artist Wristband), yang juga ada barcodenya (untuk memindai data-data kami sebagai performer), resmi sudah kami sebagai SXSW performer.
Sebagai informasi, tiket terusan di SXSW ini disebut ‘badge’ . ‘Badge’ ini terbagi lagi ke beberapa kategori ; Music, Film, Interactive, Gold dan Platinum Badge. Harganya berkisar antara $ 895 untuk Music badge saja, sampai yang termahal, Platinum badge $ 1745. Sedangkan, yang kami pakai sebagai penampil adalah artist wristband. Nah, selain makan minum, sederetan fasilitas gratis yang kami dapat dengan ‘gelang artis’ ini adalah, free stuff dari sponsor-sponsor SXSW, workshop & mentoring, segala konser siang-malam, dan keistimewaannya lagi adalah, kami dapat mengakses sampai ke backstage artis-artis SXSW. Berkat gelang ini saya bisa berbincang santai dengan Baauer di backstage J
Setelah urusan registrasi beres, kami menyempatkan diri untuk mulai menjelajah area SXSW. Kami sempat menengok kedua venue untuk show kami, tanggal 17 Maret 2016 di Flamingo Cantina, sebuah café reggae yang berlokasi di 515 East 6th Street. Dan yang untuk tanggal 19 Maret di Russian House, berdekatan Flamingo Cantina, di 307 East 5th Street.
Sekalian makan malam bersama, dan sudah janjian, kami bertemu dengan Pak Boni dari Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) Indonesia, yang kebetulan memang sedang di Austin, khusus untuk menghadiri dan ‘riset’ SXSW. Dalam kesempatan ini, kami membicarakan beberapa kemungkinan yang bisa membawa kesenian dan musik Indonesia ke festival ini, semoga terwujud.
Oya, di makan malam ini, saya juga beruntung dapat bertemu dan berbincang sejenak dengan tim produksi film “City Of God” dari Brazil.
Setelah seminggu, Film Festival selesai, 15 Maret 2016 di area yang sama, Music Festival dimulai.
Melihat dan menyusun jadwal akan pergi kemana saja di pagi hari atau sebelum tidur malam, adalah metode yang kami terapkan di festival ini. Memang betul, banyak acara bagus dan sayang untuk dilewatkan, tapi tidak mungkin juga untuk menghadiri ratusan acara yang ada.
Nah, untungnya juga, semua urusan jadwal itu dipermudah dengan aplikasi smartphone SXSW GO. Yang tersambung dengan artist wristband kami via bluetooth dan barcode, dan semua sistem tersebut terintegrasi dengan maps. Contohnya, ketika kita berada di suatu area di sekitar SXSW, maka akan muncul notifikasi yang memberitahu, yang kira-kira berbunyi ; “Sedang di area A ? Dalam waktu setengah jam band A akan main, jangan terlewatkan!” .
Hari itu, kegiatan kami adalah membuat flyer untuk kedua show kami di SXSW, yang harga cetaknya tidak masuk akal bagi kantong Indonesia, untungnya kami mendapat bantuan dari seorang teman disainer dari Indonesia yang sudah lama tinggal di Austin, Jehan.
Setelah itu, kami menjelajahi 6th street, sembari membagi/menempelkan flyer kami sepanjang jalan, seperti waktu awal kami ngeband dulu.
Malam itu, kami menghadiri seremoni pembukaan SXSW di rooftop Maggie Mae café yang penuh sesak. Oya, 6th street adalah salah satu jalan yang paling ramai dan happening di Austin, dan semakin menjadi lagi ketika festival SXSW ini berlangsung. Di hari biasa, ramai, di akhir pekan ; gila. Begitu gurauan teman kami tentang 6th street. Mengingatkan saya suasana jalan Malioboro ketika ada Festival Kesenian Yogyakarta.
Keesokan paginya, bersama Boris, kami memulai hari dengan meeting tentang rencana membuat video klip lagu “Rock Da Mic”, salah satu lagu dari album baru Shaggydog.
Setelah mengantar Boris meregistrasi kamera-nya ke SXSW Pro Media, hari itu kami menonton penampilan Mungos Hi-Fi, sebuah kolektif DJ digital reggae asal Skotlandia, di Flamingo Cantina. Puas menonton dan bertukar kontak dengan mereka, kami mengejar show Baauer di 800 Congress Ave, siapa lagi kalau bukan produser ‘Harlem Shake’ yang sempat meledak di dunia itu. Beruntung, saya bisa berbincang, bertukar kontak dan foto dengan dia di backstage.
Kamis, 17 Maret 2016, adalah hari yang cukup menegangkan bagi kami. Ya, hari ini adalah show pertama kami di SXSW, tepatnya di Flamingo cantina. Dan kami punya 40 menit untuk unjuk gigi disana.
Kami menuju ke venue yang terletak di 6th street ini, sore jam 16.00. Diantar oleh Butet, dan Pak Pedro, pemilik rumah yang kami tinggali selama di Austin. Deftones, juga main malam ini di outdoor stage Lady Bird Lake.
Setelah sempat syuting video klip di belakang venue, tepat jam 8 malam, kami menghajar panggung di Flamingo Cantina, 9 lagu kami bawakan malam itu. Termasuk satu lagu baru ‘Rock da Mic’’. Show pertama ini cukup sukses, walau ada kendala listrik keyboard Lilik di awal, tapi dapat diatasi dengan cepat. Kami berhasil mencuri perhatian beberapa event organizer yang sengaja hadir untuk menonton kami malam itu. Electronic Press Kit kami yang berbentuk USB laris diminta malam itu. Hadir juga beberapa teman kami yang ikut berjoget, Madsteez, seorang seniman mural asal California dan Altimet, rapper Kuala Lumpur, keduanya juga memenuhi undangan SXSW.
Malam itu kami tutup dengan moshing bersama, menonton penampilan grup punk legendaris yang kami tunggu-tunggu ; NOFX. Dan sebelum show, kami sempat bergurau bersama manager mereka, Kent, di backstage. Funny guy J
18 Maret 2016, dengan memanfaatkan fasilitas ‘taksi gratis’ dari Mazda Express (yang lagi-lagi melibarkan wristband dan aplikasi), kami megeksplor lagi area SXSW. Mengakhiri hari dengan berbelanja oleh-oleh dan vinyl di salah satu toko musik andalan Austin, Waterloo Records, dan lagi, ada rangkaian acara SXSW di depan toko ini (Waterloo Records day parties), disini kami sempat bertemu dengan musisi elektronik asal Kanada, Peaches. 19 Maret 2016, kami siap untuk show kedua.
Russian House, adalah nama venue untuk show kedua ini. Entah kenapa, hari itu suhu udara drop sampai 4 derajat celcius, untungnya, bar mereka punya koleksi 104 jenis vodka. Pas J
Untuk pertama kalinya juga, kami merasakan makanan Russia di tempat ini.
Show kedua ini bisa dibilang, pecah! Disponsori oleh WOMEX (World Music Expo), malam itu Russian House full! Sekitar 300 orang memenuhi tempat tersebut dan berdansa bersama kami. Sampai-sampai, kami menerima beberapa pesan lewat Facebook, yang mengeluh tidak bisa masuk malam itu.
Setlist hampir sama dengan show yang pertama, yang membedakan adalah, suasana kali ini jauh lebih heboh dari show yang pertama. Mungkin juga, ini pertama kalinya Lilik berkomunikasi di atas panggung menggunakan bahasa Inggris agak panjang, sebelum tugasnya seperti biasa, menyanyikan lagu Doggy-Doggy.
Blazer lurik saya dari Rumah Budaya Indonesia juga mendapat pujian dari beberapa penonton malam itu, “Nice suit, man!” , begitu kata mereka.
Ya, fashion juga menjadi salah satu isu penting di ajang SXSW ini. Satu cerita, sekumpulan anak hiphop pernah mencegat saya di 6th street, saya pikir mau apa, ternyata cuma mau bilang bahwa sepatu Nike custom Dubyouth (karya Sevenzulu, Jogja) yang saya pakai, keren J . Sampai sebegitunya.
Mencicipi clubbing di Austin, di sebuah club bernama Summit, menutup malam yang seru itu.
Dengan semua rangkaian kegiatan, dan kejutan di SXSW (ternyata Erykah Badu, Cypress Hill, Drake dan Steve Aoki main juga sebagai ‘tamu rahasia’), seminggu terasa kurang bagi kami. Bahkan, beberapa orang yang kami temui setelah show, menyayangkan, kenapa Shaggydog tidak lanjut tur dulu ke beberapa negara bagian Amerika. Kami jawab, there’s always next time J
Disamping itu, sebenarnya masih banyak rasa penasaran yang belum terjawab dan hal-hal yang masih ingin kami eksplor.
Tapi terus terang, dibanding Eropa, secara musikal, fashion, dan karakter penonton, Amerika rasa rasanya tidak begitu ‘asing’ bagi kami.
Dan setelah sekilas melihat para penampil yang ada di SXSW, saya yakin , band-band ‘cutting-edge’ dari Indonesia sangat layak untuk ditampilkan di SXSW.
Oya, sebagai informasi, beberapa perwakilan negara-negara seperti Jepang, Inggris dan Australia, juga membuka booth disana, dengan dukungan dari pemerintah masing-masing.
Nah, justru, ada pembelajaran di luar musik yang kami dapat di festival ini. Adalah bagaimana mengelola sebuah festival besar yang memanfaatkan hampir setiap spot di suatu kota, diantaranya ; teamwork, konsep, teknologi, disiplin, hospitality dan networking.
Pelan-pelan, semoga pelajaran yang kami yang kami dapat, bisa diterapkan di Indonesia. Atau setidaknya mungkin dimulai dari kota kami , Yogyakarta.
Tanggal 23 Maret 2016, kami pulang ke Indonesia lewat Houston.
Terima kasih banyak kepada semua pihak yang memungkinkan #ShaggydogGoesSXSW ini terwujud ; Hurley Indonesia, Electrohell, Malaria House, PT Orang Tua, label kami Doggyhouse Records, KJRI Houston dan Rumah Budaya Indonesia Austin.
Semoga seperti Japan House, British Music Embassy dan Sounds Australia, kita jumpa di Indonesia House SXSW tahun depan!
Ditulis oleh Heruwa di Dubai International Airport.
Foto oleh Boris/MalariaHouse & Heruwa.