Senyawa adalah duo musisi kontemporer yang dibuat oleh Rully Shabara dan Wukir Suryadi di Yogyakarta pada tahun 2010. Rully sebelumnya adalah vokalis dari band math-rock/noise-rock bernama Zoo serta vokalis band Hip Metal, Middle Finger, sedangkan Wukir lebih banyak berkecimpung di dunia musik tradisional.
Senyawa menggabungkan unsur musik tradisional Indonesia dengan eksperimen mencampurkan berbagai gaya musik seperti metal, punk dan folk untuk menghasilkan komposisi yang mendapat pengaruh avant-garde dengan warisan budaya tradisional. Teknik vokal Rully yang dipengaruhi urban ethnic dipadu dengan instrumentasi bambu dan peralatan pertanian yang dibuat oleh Wukir, serta distorsi gitar menambah warna pada musik Senyawa.
Kurang lebih sekitar 9 album dan 3 EP yang sudah diciptakan Senyawa selama perjalanan bermusiknya. Kali ini aku ngebahas album “Acaraki” yang dibuat di tahun 2014. Album ini terdiri dari 11 lagu dengan lagu pembuka ‘Pada Siang Hari’, semua lagu menggunakan instumen bambu yang khas dari Wukir yang membuat suasana suram dan mencekam diantara irama-irama distorsi mereka.
Aku mencoba mendengarkan beberapa lagu ‘Pada Siang Hari’, ‘Pasca’, ‘Sisa’ dan ‘Di Pudarnya Senja’. Aku seperti masuk ke dunia lain yang penuh dengan kegelapan dikelilingi suara-suara misterius yang mencekam, lalu semua ketakutan yang di dalam diriku menghampiri, tetapi anehnya aku menikmatinya. Puisi-puisi elegi suram yang dibawakan Rully begitu eksentrik dan tidak halus yang disengaja, ditambah suara instrumen bambu yang dominan menambah aura “mencekam” pada irama-irama di album ini. Tetapi, puisi-puisi yang dibawakan Rully tidak begitu jelas terdengar karena irama yang menurutku terlalu keras. Yang unik, di lagu “Kereta Tak Berhenti Lama” diadaptasi dari lagu anak-anak “Naik Kereta Api” yang dibawakan dengan nada suram khas Senyawa. Juga di lagu “Jaranan”, teriakan yang saling sahut-menyahut, serta vokal sinden yang menonjolkan musik tradisional Jawa.
Setelah membaca beberapa lirik lagunya, yaitu “Sisa” dan “Pada Siang Hari”. Aku tertarik mencari makna yang tersirat dari kedua lagu ini. Di lagu “Sisa” aku simpulkan lagu ini menceritakan tentang suatu keputusasaan dan kehilangan. Kata-kata “Usai sudah, tak ada sisa, hanya hitamnya malam” menyiratkan bahwa semua yang ada hilang tanpa harapan dan hanya ada kegelapan di malam hari. Lagu ini mungkin menyampaikan pesan tentang betapa beratnya menghadapi perubahan dan kerinduan yang tidak terpenuhi, dan betapa sulitnya untuk bangkit dari kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan. Di lagu “Pada Siang Hari” yang tertulis “Manusia berkeringat… Dari gunung hingga laut… Dari kampung hingga kota… Tanpa peduli bertanya… Untuk apa”, menurutku, ini menggambarkan manusia yang mencari suatu tujuan yang akan berakibat sia-sia jika ia tidak memaknai untuk apa ia melakukan hal tersebut.
Kenapa aku bilang menarik? karena ini menggambarkan bagaimana absurdnya hidup kita, dengan melakukan hal-hal yang terus berulang dan kekosongan di diri kita yang tidak masuk akal, tetapi jika kita tidak memaknainya maka semua itu tidak akan sia-sia. Senyawa mampu membawakan makna tersirat untuk mengingatkan kita akan pentingnya memaknai suatu keberadaan yang ada di sekitar kita.
Aku menganggap, Senyawa adalah band yang “gila”, mereka mampu menggiring pendengar untuk merasakan suatu situasi yang menakutkan, tetapi mau tidak mau harus kalian hadapi sampai akhir. Ini album yang pas untuk kalian yang ingin merasakan eksperimentasi anti-mainstream dari etnomusik yang dibalut dengan nada-nada distorsi yang mencekam. Kalian juga bakal mendapatkan suatu pengalaman musik yang tidak pernah kalian temui di musik-musik lain.
Review oleh Ahmad Gibran
Editor Indra Menus
Foto: Cyclic Defrost, Wikimedia & dokumen Senyawa