Mengulik Musik Indonesia Yang Mengandung Substansi Narkoba

Mengulik Musik Indonesia Yang Mengandung Substansi Narkoba

Musik dan narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang) dapat memiliki hubungan yang kompleks. Beberapa musisi percaya bahwa menggunakan narkoba dapat meningkatkan pengalaman musik, merangsang perasaan yang dialami, meningkatkan kreativitas, penciptaan lirik dan mengurangi rasa takut atau cemas saat tampil di depan publik. Beberapa musik yang mengandung unsur narkoba dapat menimbulkan berbagai reaksi dari pendengarnya. Ada yang menilai bahwa lagu tersebut sebagai wujud seni dan kreativitas dari penciptanya, namun ada juga yang menganggapnya sebagai ajakan atau glorifikasi terhadap penggunaan narkoba. Terlepas dari semua hal-hal yang negatif dari pengaruh narkotika, musik yang mengandung makna lirik narkoba tetaplah menjadi bagian dari sejarah musik dan budaya populer. Kali ini aku mau merangkai dan memaknai beberapa musik yang aku rasa mengandung unsur narkoba yang mungkin jarang diketahui banyak orang. The Brims – Anti Gandja The Brims (biar rupa – rupa isinya, masih tetap satu) merupakan salah satu grup musik yang tergabung dalam unit Brigade Mobil Republik Indonesia yang dibentuk pada tahun 70an, mengusung genre rock dengan unsur psychedelic. Salah satu karya terkenal mereka adalah lagu “Anti Gandja” dari album Vol. 1: Let Me Show My Way – Anti Gandja (Mesra) yang memiliki nuansa trippy dan mengajak untuk melawan penggunaan narkotika. Meskipun bertujuan untuk mengkampanyekan anti narkotika, “Anti Gandja” justru mampu membuat pendengarnya merasa terhanyut dalam suasana “mengawang”. Lagu ini tentunya memunculkan berbagai pertanyaan dan kesan yang mengganjal segera muncul dalam pikiran kita setelah mendengar lagu yang dirilis pada tahun 1972 ini. Salah satu hal yang mungkin ditanyakan adalah bagaimana mungkin sebuah lagu yang terdengar seperti memberikan informasi tentang bahaya penggunaan narkotika malah memberikan efek halusinasi dan sangat cocok didengar ketika sedang “high”. The Flowers...
Syifasativa Soroti Realitas Sosial Di Kelompok Tani Remaja

Syifasativa Soroti Realitas Sosial Di Kelompok Tani Remaja

Syifasativa, seorang aktivis dari Purbalingga, Jawa Tengah yang mengutarakan kritikannya lewat music. Dikenal dengan lirik perlawanan yang puitis Syifasativa kini sudah merilis empat album: “Aku Pusing, Vol. 2” (2020), “Nikmati Sajalah” (2021), “Tanam Sawi Di Bulan” (2021) dan album barunya “Kelompok Tani Remaja” (2022). Kali ini, album “Kelompok Tani Remaja” yang mau aku bedah. Album “Kelompok Tani Remaja” ini berisi 10 lagu, sama seperti album dan single sebelumnya, ia masih mengalunkan irama folk dengan harmonikanya yang syahdu. Album ini berisi tentang realitas kehidupan yang dilihat dari kacamata-nya sendiri, dimana setiap lagu punya cerita dan isu-nya masing-masing yang ingin diangkat. Cover album-nya menggambarkan peristiwa dimana petani ditindas oleh pihak yang ingin merebut lahan mereka. Ilustrasi seorang laki-laki dan perempuan memegang senjata sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang sudah dirampas. Aku rasa, Syifasativa menceritakan tentang hal-hal yang masih hangat terjadi di Indonesia, dimana warga mempertahankan lahan mereka dari penggusuran oleh oknum yang menggunakan kekerasan sebagai senjatanya untuk menakutin para warga yang ingin berontak untuk merebut kembali kawasan mereka. Aku mau ngebahas dulu lagu pembukanya, Kelompok Tani Remaja, lagu ini ngebahas curhatan seorang anak yang udah muak sama orang tuanya yang terlalu kontrol dan ga pernah merhatiin dia, jadi dia pergi ke pedesaan buat bantu para petani. Nah, yang menariknya dari lagu ini, intronya pakai dialog tunggal dari sudut pandang orang tua, dan di part akhir melantunkan dialog dari anak petani tersebut. Kritikan keras juga aku dengar di lagu Kota Kapitalis, aku dengar “Ada benteng besar yang tak tampak fisiknya… Melindungi bos kaya, penguasa, dan kolega… Gerbangnya terbuka seakan baik bentuknya… Padahal hanya siasat kontrol manusia…”, ini adalah sebuah tuduhan dari Syifasativa...
Satukan Pluralisme, Salammusik Dan Altimet Hadirkan Harmonisasi Dalam Alamak

Satukan Pluralisme, Salammusik Dan Altimet Hadirkan Harmonisasi Dalam Alamak

Lagu ini sebenarnya udah aku dengar pada tahun 2015-an, tapi hanya sekadar mendengarkan saja. Nah… di tahun ini aku mulai tertarik menelisik lebih dalam tentang makna lagu ‘Alamak’ karya Salammusik feat. Altimet. Sedikit perkenalan dengan band ini, Salammusik adalah band reggae asal Malaysia yang berdiri pada tahun 2006 dengan Ashraaf Salam A. Azlan sebagai vokalis. Musik mereka dipengaruhi oleh reggae dan hip hop, dipadukan dengan perpaduan musik modern dan tradisional. Di lagu ‘Alamak’ ini, mereka berkolaborasi dengan Rapper Malaysia juga, Altimet. Kita bahas dahulu dari judulnya, “Alamak” kata ini biasanya digunakan ketika kita kaget atau kecewa, sering dipakai di Indonesia dan juga beberapa negara di Asia Tenggara. Biasanya buat nge-react spontan terhadap sesuatu yang tidak kelihatan atau situasi yang tidak enak. Lagu ini bercerita tentang anak yang jatuh ke dalam sumur dan menemukan buku-buku dengan isi yang sama namun cover yang berbeda. Anak itu ingin memberikan informasi isi buku ke teman dan orang di sekitarnya, namun karena penampilannya yang hanya mengenakan baju dalam dan sendal jepit, mereka semua tidak percaya dan menganggapnya sedang bercanda. Setelah aku menelisik lebih dalam, lagu ini ternyata membahas tentang perjalanan spiritual orang yang sedang mencari tau kebenaran mengenai agama. Dia menemukan kesimpulan bahwa semua agama punya tujuan yang sama, yaitu jadi orang baik dan menyebarkan kebaikan. Walaupun perintah, larangan, dan bahasanya beda-beda, intinya sama saja, cuma namanya yang beda. Perbedaan itu yang mungkin dapat hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama, tanpa harus menindas satu sama lain. Itu ditegaskan di lirik “lebih banyak yang sama”, “daripada yang berbeza”. Lirik rap yang dinyanyikan Altimet yang tidak terlalu up-beat layaknya musisi reggaeton, juga menggunakan kalimat frasa yang...
Bersama Dendang Samudra, Irama Pantai Selatan Ajak Nikmati Esensi Kehidupan Pantai

Bersama Dendang Samudra, Irama Pantai Selatan Ajak Nikmati Esensi Kehidupan Pantai

Berdiri pada tahun 2017, Arief dan Sigit menamai genre Irama Pantai Selatan dengan “Maritim Pop”, yang simplenya lagu pop yang dipadukan ritme dan lirik dengan atmosfer pantai. Pada tahun 2020, mereka merilis debut album pertama “Dendang Samudra” yang terdiri dari 8 lagu dengan lagu pembuka berjudul yang sama. Album ini menceritakan tentang kehidupan yang sering dijumpai di pesisir pantai, mulai dari kisah cinta, festival rakyat dan detail-detail kecil seperti kesegaran minum es kelapa di pinggir pantai. Aku mendengar ada nuansa keroncong, latin dan jazz di dalamnya, dengan instrumen ukulele khas dari musik ‘Hawaiian’. Vokal congkak Melayu yang “mendayu”, juga lirik yang ringan dan bermasyarakat serta dibawakan dengan tidak bertele – tele yang sangat lekat dengan pembawaan mereka. Aku langsung teringat lagu-lagunya Alm. Tan P Ramlee ketika pertama kali dengar lagu-lagu mereka. Ada dua lagu yang berbeda dari semuanya di album ini, ‘Puja Puji Puspa Hati’ dan ‘Asmara Lautan Biru (Di Cilincing)”. Kedua lagu ini memiliki vokal yang lembut dan sangat memikat, sekaligus menjadi lagu dengan tempo paling slow di album ini. Yang menonjol juga, di lagu ‘Bintang Laut’ diawali dengen puisi naratif yang dibawakan seolah sedang bercerita kepada sekumpulan anak-anak. Lagu ini membawa pesan penting tentang pentingnya melindungi habitat dan ekosistem laut. Aku mau ngebahas arti lirik lagunya. Di lagu “Jelita”, menurutku seperti menonton film komedi pendek ketika mendengarkannya, semisal “Seorang pria yang melongo melihat gadis yang senyum dengannya sambil berlari dipinggir pantai, tapi gadis itu enggak senyum dengan pria itu aja, semua pria di pantai diberikan senyuman. Tapi gadis itu anaknya jagoan pantai tersebut”. Pada lagu “Khayalan Rakyat” menceritakan tentang curhatan seorang pria yang ingin melamar seorang gadis...
Senyawa Tawarkan Kesuraman Yang Mencekam Di Acaraki

Senyawa Tawarkan Kesuraman Yang Mencekam Di Acaraki

Senyawa adalah duo musisi kontemporer yang dibuat oleh Rully Shabara dan Wukir Suryadi di Yogyakarta pada tahun 2010. Rully sebelumnya adalah vokalis dari band math-rock/noise-rock bernama Zoo serta vokalis band Hip Metal, Middle Finger, sedangkan Wukir lebih banyak berkecimpung di dunia musik tradisional. Senyawa menggabungkan unsur musik tradisional Indonesia dengan eksperimen mencampurkan berbagai gaya musik seperti metal, punk dan folk untuk menghasilkan komposisi yang mendapat pengaruh avant-garde dengan warisan budaya tradisional. Teknik vokal Rully yang dipengaruhi urban ethnic dipadu dengan instrumentasi bambu dan peralatan pertanian yang dibuat oleh Wukir, serta distorsi gitar menambah warna pada musik Senyawa. Kurang lebih sekitar 9 album dan 3 EP yang sudah diciptakan Senyawa selama perjalanan bermusiknya. Kali ini aku ngebahas album “Acaraki” yang dibuat di tahun 2014. Album ini terdiri dari 11 lagu dengan lagu pembuka ‘Pada Siang Hari’, semua lagu menggunakan instumen bambu yang khas dari Wukir yang membuat suasana suram dan mencekam diantara irama-irama distorsi mereka. Aku mencoba mendengarkan beberapa lagu ‘Pada Siang Hari’, ‘Pasca’, ‘Sisa’ dan ‘Di Pudarnya Senja’. Aku seperti masuk ke dunia lain yang penuh dengan kegelapan dikelilingi suara-suara misterius yang mencekam, lalu semua ketakutan yang di dalam diriku menghampiri, tetapi anehnya aku menikmatinya. Puisi-puisi elegi suram yang dibawakan Rully begitu eksentrik dan tidak halus yang disengaja, ditambah suara instrumen bambu yang dominan menambah aura “mencekam” pada irama-irama di album ini. Tetapi, puisi-puisi yang dibawakan Rully tidak begitu jelas terdengar karena irama yang menurutku terlalu keras. Yang unik, di lagu “Kereta Tak Berhenti Lama” diadaptasi dari lagu anak-anak “Naik Kereta Api” yang dibawakan dengan nada suram khas Senyawa. Juga di lagu “Jaranan”, teriakan yang saling sahut-menyahut, serta vokal...
Ada Bau Jamaican Style Di Dalam Album DUBYOUTH

Ada Bau Jamaican Style Di Dalam Album DUBYOUTH

Sebelum membahas albumnya, mari kita bahas Dubyouth terlebih dahulu. Group ini dibentuk oleh Heruwa “Shaggydog” sebagai MC dan Metzdub sebagai DJ pada tahun 2003 di kota Yogyakarta. Walaupun tidak sebesar Shaggydog, Dubyouth memiliki kesamaan dalam mengekspresikan musik dan memiliki karakteristik khas yang unik dalam setiap penampilannya. Dengan mencampurkan berbagai gaya musik seperti reggae, dance hall, dub dan raggamuffin, mereka menciptakan musik yang luar biasa dan bervariasi. Melalui skena underground yang kecil, mereka dapat menembus pasar musik dan menduduki chart indie di salah satu radio ternama di Indonesia, hal ini sangat mengejutkan group ini, karena mereka sama sekali tidak pernah melakukan promosi di radio-radio. Pada tahun 2012, mereka resmi merilis album perdana yang berisi 9 lagu, semua lagu penuh dengan ‘echo rhythm’ dan sentuhan reggae yang kental dengan penggunaan lirik Jamaican Slang. Mereka juga mengajak beberapa rapper untuk berkolaborasi pada album ini, seperti Yacko & Nova di lagu ‘Boys Don’t Mess’, juga berkolaborasi dengan rapper asal Yogyakarta, Jogja Hiphop Fondation di lagu ‘Bombassu’. Yang menariknya, pada lagu ‘Bombassu’ ini menggunakan lirik bahasa Jawa dan memberikan kesan bahwa bahasa daerah mereka mampu bersanding bersama musik modern dan menghasilkan suatu musik yang sensasional. Lagu “Love 2 C U Dance” mencuri perhatianku dan menurutku merupakan salah satu hal sempurna yang ditawarkan Dubyouth dalam album ini. Back-sound yang ceria dan bergairah sangat pas dengan nuansa yang diciptakan oleh lagu ini, aku seolah dibawa ke dalam sebuah festival pasar malam yang ramai dan penuh dengan cahaya yang berkelip-kelip. Menghilangkan sejenak realitas kehidupan dan ikuti irama yang ada. Mari kita menilik sampul album secara menyeluruh, sampul album yang ditampilkan di sini adalah sebuah karya seni yang luar...